JANDA CEO bagian 1
Pisah....
Pisah....
Ilustrasi: Perpisahan |
Maura menandatangani dokumen persetujuan perceraian di depan kedua pengacara dan Gardin suaminya, yang tak lama lagi akan menjadi mantan suaminya. Dengan menandatangani persetujuan perceraian, Gardin akan mengusahakan perceraian ini berlangsung Fast-track dengan Maura tidak perlu hadir satu kali pun dalam persidangan nanti. Selesai menandatangani semua dokumen, Maura tersenyum pada ketiganya. “Semoga semuanya berjalan cepat dan lancar ya.” doanya, terlalu lelah ia sakit hati begini. Maura ingin secepatnya mencanangkan rencana hidupnya ke depan.
“Kamu yakin kamu nggak menginginkan apa-apa dari aku?” Gardin agak merasa bersalah karena Maura berkeras tidak menginginkan pembagian harta gono-gini.
Maura mengangguk mantap. “Tabungan pribadi aku sudah sangat cukup, itupun semua dari kamu.” Memang setelah menikah dengan Gardin sepuluh tahun yang lalu, Maura diminta berhenti bekerja. Gardin mencukupi semua kebutuhan Maura. Tidak hanya cukup sebenarnya, sangat berlebih.
“Kamu masih ingatkan? Kita punya perjanjian pra nikah, kalau penikahan ini berlangsung lebih dari sepuluh tahun, dan kita harus bercerai karena kesalahanku maka kamu akan mendapatkan setengah dari harta pribadiku. Tapi kalau kamu yang salah, maka kamu tidak akan dapat apa-apa.” Gardin menegaskan.
Maura tersenyum. “Apakah itu artinya kamu mengakui bahwa perpisahan ini karena kesalahan kamu?”
“Semua orang juga tahu hubunganku dengan Lucy.” Gardin tersenyum sinis.
Kekasih baru Gardin seorang skuter (selebriti kurang terkenal, tapi namanya menjadi begitu terkenal karena kasus affairnya dengan seorang konglomerat muda yang ganteng banget. Ya Gardin ini).
Maurapun mengeluarkan senyum palsunya. “Pernikahan kita berlangsung kurang dari sepuluh tahun.” Maura mengingatkan.
“Hanya kurang satu bulan.”
“Well, deal is a deal.”
“Aku sama sekali tidak keberatan membagi hartaku untuk kamu. Tanpa kamu, aku belum tentu seperti sekarang ini.”
“Aku sama sekali tidak punya peran apa-apa dalam hidup kamu.” Maura merendahkan dirinya.
Bosan berlama-lama di sini. Dia pun berdiri menyudahi pertemuan ini. Berjabat tangan dengan kedua pengacara dari kedua belah pihak, Maura pun bersiap menghampiri Gardin.
Gardin berdiri menyambut Maura. Sepintas dia bingung hendak bersikap. Apakah hanya akan berjabat tangan?
Maura menghampirinya dan memeluk erat Gardin, memberikan kehangatan terbaiknya untuk sang suami terakhir kalinya. “Terima kasih telah bersedia bersama aku selama sepuluh tahun ini. Aku amat bahagia bersama kamu.” Ada setitik air mata yang terjatuh ketika ia mengucapkan kata terakhir itu.
Gardin begitu terharu mendengar ucapan tulus dari Maura. Perempuan hebat yang terang-terangan telah ia sakiti hatinya. Gardin hanya mampu menerima pelukan itu tanpa mampu berkata apa-apa. Matanya pun berkaca-kaca.
Satu menit. Mauranya memeluknya selama satu menit. Setelah itu melepaskan pelukan itu. Kedua pengacara yang menyaksikan peristiwa itupun terhanyut perasaannya. Perpisahaan yang begitu menyentuh dan dewasa. Sama sekali tidak ada pertikaian dari para client mereka.
Setelahnya Maura kembali tersenyum sebelum ia meninggalkan ruangan kantor mewah itu. Kantor milik sang mantan suami.
Ketika ia hendak pergi, Gardin mencegahnya dengan memegang tangannya. Otomatis Maura terheran dan menoleh.
“Kamu tinggal di mana sekarang?”
“Nggak perlu tahulah.”
“Bagaimana aku akan menghubungi kamu kalau ada keperluan mengenai ini?”
“You have my number.” Maura pun dengan lembut melepas genggaman Gardin, dan meninggalkan ruangan yang berpintu kaca itu.
Gardin tetap mengamati Maura yang meninggalkan ruangan itu bersama pengacaranya, semua sudut ruangan pertemuan begitu transparan karena dibatasi hanya dengan pintu dan pembatas kaca bening yang mewah dan kokoh.
“Bang.” Panggil Gardin pada pengacara yang juga sahabatnya yang ada di sana. “Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Tolong elo selidiki ya apa itu!”
Jason yang merasa diperintah Gardin langsung mengangguk. “Gue akan suruh orang gue untuk cari tahu soal itu. Elo nggak usah khawatir.”
“Gimana gue nggak khawatir bang, sebangsat apapun gue, gue juga manusia. Gue tahu banget perempuan itu sebatang kara, gue nikahin dia di depan jenazah ayahnya.” Ada nada penyesalan di perkataan Gardin. “Gimana nanti dia hidup kalau dia kekeuh nggak mau harta gue sama sekali.”
“Kalo gitu kenapa elo mau cerai?”
“Karena gue pikir dia mau nerima apa yang gue kasih. Sama sekali gue nggak keberatan ngasih dia dua ratus (miliyar) aja sih.”
Gardin menghela nafas. Ah, andai saja Lusy nggak hamil dan mengancam bunuh diri kalau dia tidak menikahinya. Maka ia tidak perlu menceraikan perempuan yang sebenarnya masih ia sayangi.
**
Maura memasuki apartemen sewaannya yang terletak di bilangan Kelapa gading. Menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang tengah yang begitu mungil. Ruangan utama ini tersambung dengan dapur yang amat kecil. Dia menghela nafas begitu panjang. Tadi sepanjang perjalanan dia berusaha keras untuk tidak menangis. Akan terlihat konyol apabila tadi naik taksi online dia tiba-tiba menangis. Sekarang, dia pun membiarkan dirinya untuk meluapkan semua emosinya. Inilah akhir tragis dari cerita cintanya. Perjalanan pernikahannya harus berakhir. Dari awal memang dia ragu untuk menjalani pernikahan beda kasta itu. Dulunya dia hanyalah seorang sekretaris junior yang baru saja lulus dari akademi sekretaris dan baru enam bulan bekerja, menerima pinangan bos mudanya yang begitu tergila-gila dengannya. Bahkan sang ayah yang sakit-sakitan sampai luluh dan bersedia memberi restu melihat begitu gigih dan sopannya Gardin berusaha keras merebut hatinya.
Tapi sudahlah semua harus berakhir, cinta Gardin ternyata tidak abadi untuknya. Bagaimana pun ia cukup berterima kasih dengan apa yang telah Gardin berikan padanya selama ini. Walaupun berakhir tragis dan menyakitkan tapi Maura berusaha keras untuk ikhlas.
Maura mengelus-elus perutnya. “Nak, kamu satu-satunya harapan bunda, jangan pergi sebelum waktunya ya! Yang betah di perut bunda, lahirlah dengan sehat. Hanya kamu yang bunda harapkan untuk menemani bunda.” Maura memang menyembunyikan kehamilannya pada Gardin. Karena dia tak mau Gardin berubah fikiran. Dia pun tak ingin memberikan Gardin harapan. Lucy sudah menyatakan dia hamil anak Gardin, sepertinya cukup bagi Gardin mengetahui kalau dia akan jadi ayah bagi anak dari Lucy. Maura tidak mau merusak kebahagiaan mereka. Selain itu, Maura juga masih sangat takut memberi tahukan kepada orang lain kalau dia juga hamil. Mengingat dia punya riwayat keguguran sebanyak empat kali. Rahimnya memang begitu rentan. Kali ini kehamilannya menginjak usia enam belas minggu, sejauh ini waktu terlama usia kehamilan yang mampu ia tempuh, pengalaman-pengalaman yang lalu, janinnya hanya bertahan selama sepuluh minggu. Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan doanya. Bahwa akan ada mahluk mungil yang akan menemani hari-harinya ke depan nanti.
**
“Kamu nggak berubah fikiran kan bang?” Lucy sedang bergelayut manja pada Gardin di apartment mewahnya. Gardin membelikan untuknya enam bulan yang lalu. Apartement ini terletak di jantung kota Jakarta, terletak di bilangan Kebayoran lama.
Gardin bingung ditanya begitu. “Maksud kamu apa?”
“Kamu akan ceraikan istri kamu dan nikahin aku kan?”
“Aku pasti nikahin kamu.”
“Kamu pasti ceraikan Maura kan?”
Gardin tersenyum. “Kamu mau kita nikah dulu atau menunggu aku bercerai? Kata Bang Jason, perceraianku butuh waktu lama.”
“Kok gitu, nanti anak ini keburu lahir.” Lucy cemberut.
“Gimana kalau kita nikah dulu, nggak papalah status kamu istri ke 2, toh aku juga dalam proses cerai dengan Maura.”
“Kok gitu?” Lucy nggak setuju.
“Kamu mau nunggu lama? Ya kira-kira enam bulananlah.”
“Kok segitu lamanya?”
“Karena kasus ini rumit, menyangkut banyak hal, termasuk gono-gini.” Gardin sedikit berbual.
“Memangnya si Maura itu nuntut berapa sih, dasar cewek matre.”
“Kamu jangan bilang begitu, tanpa dia, aku belum tentu bisa sehebat ini.” Gardin agak kesal dengan perkataan Lucy, andai dia tahu kalau Gardin sangat kecewa karena Maura menolak semua pemberiannya.
Lucy kesal, karena ternyata Gardin membela Maura di hadapannya.
“Jadi gimana lebih baik nikah dulu aja ya!” Pinta Gardin.
“Iya deh, aku mau jadi istri ke 2, tapi cuma status ya, aku nggak mau kamu dekat-dekat dia lagi!”
Gardin tersenyum puas. “Nah, semua masalah jadi lebih mudah sekarang.” Gardin memeluk Lucy. Sebenarnya Gardin memang belum mau melepas Maura, karena ia merasa ada yang mengganjal. Ada permasalahan yang belum selesai. Hati kecilnya yang mengatakan seperti itu.
**
[Ada hal yang ingin aku bicarakan mengenai perpisahan ini. Bisa aku bertemu kamu lagi?] Maura terpana membaca pesan singkat dari Gardin. Apalagi sih yang mau dia bicarakan apa nggak bisa dibicarakan oleh para pengacara saja. Dia sangka tempo hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Gardin.
[Apa nggak bisa disampaikan ke Pak Mochtar saja?] Maura menyarankan untuk disampaikan ke pengacaranya saja.
[Nggak, ini terlalu pribadi.]
Maura menghela nafas membacanya. [Ya sudah. Kapan?]
[Boleh aku ke tempat kamu besok siang?]
Ah ternyata Gardin masih kekeuh mengetahui di mana dia tinggal. Ya sudahlah, diijinkan saja toh minggu depan dia juga sudah akan meninggalkan tempat ini. Maura pun menuliskan alamat apartemen kontrakannya ini pada pesan singkatnya untuk Gardin. [Mau datang jam berapa?]
[Makan siang. Nanti biar aku saja yang bawakan makan siangnya.]
Terserahlah. Maura pun melempar telepon pintarnya ke sofa, dan berlari kecil ke toilet, tiba-tiba ada dorongan kuat untuk mengeluarkan isi perutnya. Mual luar biasa.
**
Maura membukakan pintu untuk Gardin ke esokan siangnya. Begitu masuk Gardin langsung mengamati sekeliling apartemen satu kamar tidur yang begitu sederhana itu. Dia seketika sedih, Lucy ia belikan apartement yang begitu mewah, sedangkan istri sahnya tinggal di apartemen sederhana, yang baginya lebih mirip kamar kostan. Bagaimanapun tempat ini begitu bersih dan sangat memiliki aura nyaman. Gardin duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana.
“Kamu mau kopi?”
Gardin menggeleng. “Kita makan siang saja, saya sudah bawa makanan kesukaan kamu.”
Maura menerima apa yang di bawa Gardin dan mencoba memindahkannya ke piring dan mangkuk. Seperti yang dia duga, ada sapo tahu, sup kepiting asparagus, dan udang goreng tepung. Kesemuanya bernuansa seafood, begitu membuka kemasan, sebenarnya Maura begitu mual. Tapi dia tahan. Berkata pelan sambil mengelus-elus perutnya. “Nak kita makan pemberian ayah ya, bisa jadi ini terakhir kalinya ayah membelikan kita makanan.” Magic, sesaat mual itu hilang. Maura pun tersenyum mengeluarkan makanan yang telah ia pindahkan ke wadah yang layak dan disajikan di hadapan Gardin.
Mereka menikmati makan siang itu dalam diam.
Gardin mengamati Maura.”Kamu sakit?”
Maura bingung ditanya begitu.
“Kok makannya dikit, biasanya kamu lahap kalau makan makanan ini?”
“Biasa aja kok.”
Setelah makan usai, dan Maura membenahi makanan sisa dan alat makan bekas pakai, dia pun menghampiri Gardin.
“Ada apa?” Mencoba langsung pada tujuan utama Gardin datang siang ini.
Gardin menghela nafas. “Aku tahu ini menyakitkan, kamu tahukan Lucy hamil. Aku harus menikahi dia secepatnya.”
Maura bingung, itukan alasannya mereka bercerai. Terus kenapa sekarang diungkit lagi?
“Kalau menunggu proses perceraian kita akan terlalu lama. Aku harus segera menikahi dia.”
“Lalu?” Maura malas mendengar itu semua. Apa hubungannya dengan dia?
“Aku mohon ijin untuk poligami sementara waktu ini. Sampai perceraian kita selesai aja. Aku butuh persetujuan kamu.”
Oh udah ngebet banget nih ceritanya. Maura berguman dalam hati. Dia hanya menunjukan senyum yang tidak tulus. “Mana yang harus aku tanda tangani?”
Gardin mengeluarkan surat ijin yang dimaksud.
Maura langsung menandatanganinya tanpa ia baca lagi. Dia benar-benar muak dan tersakiti. Tapi berusaha keras ia tahan. “Tolong jangan terlalu lama membuat aku terombang-ambing. Aku butuh kejelasan untuk menata hidupku.” Maura memohon agar ia secepatnya diceraikan. Sesuai kesepakatan mereka, Gardin yang akan mengurus semuanya.
Gardin mengangguk. Tapi kemudian dia ragu, ada yang masih ingin dia sampaikan. “Tolong terima apa yang akan aku berikan Maura!”
Maura menggeleng mantap. “Apa yang aku dapatkan lebih dari cukup.”
“Maura please, jangan buat aku merasa bersalah begini!”
Maura hanya tersenyum.
“Oke kalau kamu merasa cukup punya tabungan, paling nggak ijinkan aku beliin kamu rumah, kamu mau tinggal di daerah ini? Aku beliin sekarang juga.”
“Nggak usah, makasih.”
“Paling nggak bawa mobil yang ada di rumah kita, Ra, berapa pun terserah kamu.”
“Sudah cukup ngomongin harta! Apa hanya itu yang ada dalam fikiran kamu? Jelas ini bukan Gardin yang aku kenal. Gardin yang aku sayang tidak pernah mempermasalahkan materi, aku butuh cinta dan kesetiaan kamu. Kalau kamu tidak lagi ingin berikan itu, ya sudah nggak apa-apa, jangan coba gantikan dengan harta yang kamu punya. Nggak usah pamer sama aku! Aku sangat tahu berapa banyaknya harta kamu itu.” Maura sangat keras sekarang.
Gardin diam, perempuan lembut ini memang sulit terbantahkan. Perkataan keras Maura membuat Gardin semakin merasa bersalah.
“Apa yang kamu butuhkan sudah kamu dapatkan. Aku lelah mau tidur. Kamu bisa keluar sekarang?”
Ha? Sejak kapan Maura tidur siang? Gardin bingung. Tapi dia tak ingin membantah. Maura telah mengusirnya. Atas apa yang telah ia lakukan, dia memang pantas diusir. Gardin pun melangkahkan kakinya ke luar apartemen itu tanpa bicara lagi.
Menutup pintu apartemen begitu Gardin keluar dari tempat itu, Maura langsung berlari ke kamar mandi. Mengeluarkan semua makanan dari mulutnya. Sudah tidak tahan, mual sangat. Tadi sebenarnya dia tidak bermaksud marah, hanya Gardin bertele-tele, sedangkan dia dalam kondisi diujung tanduk karena mual sangat. Setelah puas mengeluarkan isi perutnya, dia pun berdoa, semoga Gardin tidak mendengar kalau dia sedang muntah. Semoga yang Gardin tahu ia hanya terluka dan emosi.
Bersambung....