Apakah Injil Orang Kristen Asli atau Sudah Dipalsukan?


DI balik istilah "dipalsukan" ini ada pengandaian yang keliru mengenai posisi Kitab Suci dalam Kristianitas. Sebelumnya, di sini menyebut istilah "Injil", itu maksudnya kitab atau tulisan Injil ya (ada empat, bagian dari Kitab Suci Perjanjian Baru), bukan "Injil" dalam pengertian luas (kabar gembira).

Istilah "dipalsukan" mengandaikan Kitab Suci sebagai satu kitab atau tulisan atau rumusan kata-kata yang diturunkan Allah sebagai pewahyuan pokok pada manusia; yang kemudian diubah.

Konsep ini mungkin benar dalam suatu agama, tetapi keliru kalau diterapkan dalam Kristianitas. Keliru? Jadi pewahyuan pokok Allah dalam agama Kristen itu apa kalau bukan Injil?

Dalam Kristianitas, Allah mewahyukan diri pada manusia secara penuh, dan bukan dalam bentuk kitab, tulisan, atau kata-kata, tapi dalam wujud MANUSIA yang bernama YESUS KRISTUS.

Jadi, harus selalu diingat bahwa kita -orang Kristen- bukanlah "umat dari sebuah Kitab Suci", tetapi "umat dari seorang Pribadi", yaitu Yesus Kristus.

Orang Kristen berpatokan pada ajaran Kristus yang diwariskan oleh Gereja-Nya, termasuk dan terutama dalam keempat Injil. Posisi Injil -juga kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru- sentral dan sangat penting dalam pengenalan akan Yesus.

Namun, Injil tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan Tradisi Gereja perdana. Tidak ada "Injil" yang terlepas dari Gereja (persekutuan murid-murid Kristus). Jadi, kalau ada ungkapan "Injil diturunkan melalui Yesus", ini salah kaprah.

Yang turun pada manusia bukanlah (kitab)Injil, tapi Yesus sendiri. Injil ditulis oleh para penulis Injil dengan tuntunan Roh Kudus. Injil itu suci karena ambil bagian dalam kekudusan Kristus.

Maka bagi kita orang Kristen, tidaklah tabu untuk bertanya seperti:
"Siapa penulis kitab ini?
"Ditulisnya sekitar tahun berapa?
"Kitab ini ditujukan untuk jemaat yang seperti apa?
"Konteks sosio-kulturalnya bagaimana?
"Kualitas bahasanya bagaimana?

Pertanyaan-pertanyaan itu membantu kita semakin memahami konteks Injil, sehingga akhirnya semakin mengenali Yesus. Injil sangat penting, tetapi untuk mengenali Yesus lebih mendalam, kita mesti menempatkan Injil dalam konteks tradisi Gereja-Nya.

Maka, pewahyuan Allah dalam wujud manusia ini TIDAK MUNGKIN DIPALSUKAN. Yesus berkarya dan mengajar langsung, bahkan wafat di hadapan ribuan orang lho. Bagaimana mungkin memalsukan sesuatu yang dilihat dan didengarkan langsung oleh ribuan orang?

Komunitas Gereja perdana dan iman kepercayaan yang kuat terhadap Yesus sudah ada sebelum semua tulisan Perjanjian Baru ditulis. Kisah iman ini sudah lebih dulu diwariskan dan diajarkan secara lisan sehingga banyak orang ketika itu sudah mengimani Yesus.

Keempat Injil dan surat-surat semuanya ditulis dalam kurun abad pertama Masehi. Tulisan-tulisan itu ditulis untuk dan dibaca oleh jemaat perdana, yang kebanyakan pernah diajar langsung oleh Yesus dan Para Rasul.

Kalau isinya ngawur, jemaat mana yang mau menerima? Ibaratnya, kalau 30-40 tahun lagi ada yang menulis bahwa Romo @ZuAndreas, sejak muda rajin bertapa dan antitwitteran, pasti tulisannya dianggap ngawur.

Kenapa? Ya, karena jemaat fanatiknya masih hidup dan bisa mengkonfirmasi kebenaran tulisan itu. Keempat Injil ditujukan untuk jemaat-jemaat dengan latar belakang beragam, sehingga ada variasi penekanan dalam Injil-Injil itu.

Namun, fakta bahwa keempat Injil itu diterima luas oleh jemaat Kristen perdana adalah bukti sahih kebenaran isinya. Apakah pada masa itu tidak ada tulisan-tulisan lain tentang Yesus selain yang ada di Kitab Suci?

Tentu saja! Tapi, kalau melihat proses di atas, setidaknya ada 3 kriteria yang SEMUANYA harus dipenuhi agar sebuah tulisan diakui sebagai bagian dari Perjanjian Baru.

Ketiga kriteria itu (disebut kriteria kanonisasi) adalah:
1. Apostolisitas (ditulis oleh/kesaksian seorang Rasul; jadi mestinya dari abad pertama)
2. Ortodoksi (isinya selaras dengan keyakinan iman Gereja)
3. Universalitas (digunakan dan diakui oleh banyak komunitas Kristiani)

Jadi kalau dibilang Kitab Suci umat Kristen baru ditetapkan abad ke-4, itu bukan berarti waktu itu yang menetapkan Kitab Suci gresek-gresek tumpukan manuskrip lalu dipilah-pilah dengan sewenang-wenang sesuai kepentingan.

Nggak. Tulisan-tulisan yang sekarang menjelma Perjanjian Baru itu sejak abad pertama sudah dipakai secara luas oleh jemaat-jemaat, cuma belum ada peresmian dari otoritas Gereja, sehingga pada abad ke-4 itu praktis cuma "meresmikan" tradisi yang sudah berjalan itu.

Pada abad ke-2 ada lumayan lho, tulisan-tulisan bagus yang sesuai ajaran Gereja dan digunakan oleh jemaat-jemaat (bahkan sampai sekarang menjadi bacaan rohani) tapi tidak masuk dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.

Alasannya? Ya itu tadi, karena usia tulisannya kurang "tua". Sebaliknya, kalau ada tulisan antah berantah yang tiba-tiba diklaim sebagai "Injil yang asli", padahal:

1) bukan dari abad pertama/murid Yesus
2) nggak sesuai ajaran/keyakinan Gereja
3) nggak dipakai oleh jemaat mana pun

Bertanyalah: "terus, ukurannya 'asli' apa? Dan karena Injil itu bagian dari tradisi Gereja, maka penafsirannya juga mesti mengacu pada ajaran Gereja. Tidak bisa orang sembarang mencomot ayat, ditafsirkan sesuka hati, lalu diajarkan.

Kalau tidak mengacu pada ajaran Yesus yang diwariskan Para Rasul, di mana kebenarannya? Jadi jelas ya, posisi Injil dalam Kristianitas?

Semoga kita tidak latah menggunakan cara pandang suatu agama untuk menilai-mengukur agama lain. Kalau masih ada yang komentar, "nggak hebat dong, tulisan Injilnya nggak langsung dari Tuhan?", kisahkan perumpamaan ini:

"Seorang penggemar sepak bola nonton pertandingan basket, lantas berkomentar, 'Kok kena tangan terus sih? Payah semua. Wasitnya juga.' Jadi, masalahnya ada di pemain basketnya, wasitnya, atau yang komentar?

Selamat membaca Injil dengan gembira dan penuh iman.

Sumber: Jubir Vatikan Partikelir (@JubirPartikelir), 18 September 2020.

Mengutip Ulil Abshar-Abdalla: Kitab Suci berbeda secara mendasar antara umat Islam dan Kristen. Sejak dulu saya ndak terlalu suka dengan "debat Islam-Kristen". Dalam debat-debat itu, yang menonjol adalah apologetika, bukan memahami "kekhasan" tradisi masing-masing.