JANDA CEO
Part 13
Project
Gardin begitu sedih harus meninggalkan Brisbane. Tapi di sisi lain, dia sepertinya bisa bersemangat lagi menjalani harinya karena Maura perlahan telah membuka dirinya. Gardin pun telah menyampaikan isi hatinya langsung tanpa perantara. Walaupun Maura meminta Gardin untuk bersabar, dan belum memberikan keputusan apapun, tapi memberikan harapan bagi Gardin untuk bisa bersama lagi. Menjadi keluarga yang utuh, kali ini menjadi sempurna dengan adanya Hiro di tengah-tengah mereka. Gardin telah berkomitmen untuk tiap tiga bulan sekali datang ke Brisbane mengunjungi Maura dan Hiro. Pengennya sih tiap bulan, tapi jadwal kerjanya begitu padat, rasanya sulit untuk tiap bulan ada di Brisbane. Kalau sedang bercanda dengan Jason, Gardin selalu berkata bahwa tiga bulan sekali dia pulang kampung. Bukan karena dia menganggap, St Lucia, Brisbane adalah kampungnya, tapi Maura dan Hiro adalah tujuannya pulang. Dan diapun berharap, suatu saat Maura pun akan beranggapan sama pada dirinya. Mudah-mudahan yang dimaksud dengan ‘suatu saat’ itu secepatnya ya… ‘Mohon doanya aja’ #Selebriti_Indonesia_tone_kalau_ditanya_kapan_kawin.
**
Nggak terasa ya, ternyata Maura, Arkan, Angga sudah lebih dari satu setengah tahun kuliah di UQ. Hiro juga usianya telah satu tahun lebih kini. Dia tumbuh menjadi anak sehat yang lucu dan menyenangkan. Sejak usia satu tahun Maura sudah mulai mengenalkan Hiro dengan daycare.
Arkan dan Angga sudah di akhir study masternya. Sedangkan Maura masih harus satu semester lagi untuk bisa menyandang gelar master. Tapi bagaimana pun waktu cepat sekali berjalan. Atas bantuan Pak Mochtar yang telah berkordinasi dengan Gardin, Arkan dan Angga akan magang dulu di kantor pengacara bertaraf international di Brisbane selama satu semester. Setiap hari kerja mereka akan ada kantor pengacara itu selama empat jam. Sebenarnya itu alasan aja sih agar Maura nggak curiga walau study mereka selesai, tapi kok mereka nggak langsung pulang. Ya mau gimana, tugas merekakan memang harus bisa mengawal Maura dan Hiro sampai tanah air dengan selamat.
Kalau boleh milih sih, Angga mah pengen pulang cepat. Dagna sang tunangan sudah gerah banget nih karena mereka nggak nikah-nikah. Gardin berhasil merayu Angga dan Dagna bahwa Dagna akan mendapatkan tiket untuk terbang ke Brisbane saat Angga wisuda nanti, dan mereka akan mendapatkan hadiah sebuah rumah begitu mereka menikah nanti. Mereka berdua yang pilih lokasi dan rumahnya, Gardin tinggal bayar. Tapi untuk itu semua, Dagna nggak boleh rewel. Tugas Angga sebentar lagi selesai kok. Dengan iming-iming dua hadiah menggiurkan itu, akhirnya Dagna bersedia bersikap manis dan sabar.
**
“Mbak, elo tuh lagi ngapain sih?” Arkan kebingungan melihat Maura yang dari kemarin sibuk di depan laptopnya. Kehadiran Gardin saja setengah dicuekin. Padahal semesteran sudah selesai kok. Nilai sudah keluar, Angga dan Arkan bahkan minggu depan sudah mau wisuda.
Saat ini bisa dibilang keenam kalinya Gardin ada di Brisbane. Walau hubungannya dengan Maura tidak berkembang banyak, tapi Gardin sabar dan bahagia kok karena Maura sangat ramah dan sama sekali tidak pernah mempertontonkan dendam dan sakit hatinya pada Gardin.
Gardin tersenyum mendengar pertanyaan Arkan pada istrinya. Sedari tadi dia memang sudah mau bertanya sih. Cuma nggak enak saja kalau banyak tanya. Dalam hati Gardin berucap thanks to si polos Arkan.
Maura jadi ngeh kalau ternyata dia begitu fokus jadi lupa lingkungan. “Ini, gue lagi bikin project.”
“Project?” Gardin penasaran.
“Semester depan itu kan gue harusnya thesis. Tapi gue boleh milih antara bikin project sama nulis thesis.”
“Terus?”
“Bulan kemarin lihat ada vacant gitu di kantin, ada satu stall yang kosong. Terus kepikiran aja kalau mau jualan gitu di kantin, sekalian itu dijadiin project. Nah sekarang lagi bikin semacam proposal start up untuk buat UKM gitu.”
“Maksudnya?” Gardin mengerti sih maksud Maura tapi dia masih nggak percaya.
Maura menghela nafas mencoba menjelaskan keinginannya pada Gardin dan Arkan. “Aku mau buka stall makanan Indonesia di kantin kampus, kan udah ada makanan India, kebab, makanan Singapore, Mexico, dan pastinya western, nah biar beragam aja aku mau coba jualan makanan Indonesia. Bukan makanan mewah, semacam paket makan sianglah, konsep warteg gitu. Sekalian jadikan ini project pengganti thesis ku.”
Angga yang baru keluar kamar jadi ikut menyimak. “Ha, maksudnya elo mau jadi ibu kantin mbak?”
Maura tergelak, “Iya ya, ibu kantin. Tapi ya karena ini juga bagian dari project study gue, jadinya nggak sesimple jadi ibu kantin di kantin kampus S1 elo dulu. Gue harus bikin ijin usaha dulu, bikin TFN, ngurus pajak, ada itung-itungan bisnisnya, banyak banget online training yang harus gue jalanin dari pemerintah Australia, mengingat bisnis yang gue jalananin ini kan makanan, jadi agak sensitif.”
“Wah, seru ya kayaknya.” Arkan bersemangat.
Maura tersenyum dia lebih bersemangat lagi makanya beberapa hari ini ia begitu fokus menjalankannya. Dosen pembimbingnya pun mendukung projek yang ingin ia buat. Karena bisnis yang ingin ia lakukan di kampus juga, dan dalam skala amat kecil, sehingga bukan nggak mungkin bisa terlihat hasilnya hanya dalam beberapa bulan saja.
“Apa yang bisa kita bantu nih mbak?”
“Hm… pastinya aku akan ngerepotin kalian sih, mungkin untuk mengurus perijinannya. Dan nanti kalau udah running, ya butuh bantuan angkut, angkut belanjaan sih.”
“Oh, siap!” Arkan pun semangat.
“Apa malah justru itu nggak bikin kamu repot Ra, Hiro jangan sampai terbengkalai lho!” Gardin mulai terlihat pesimis.
“Ha, kok jadi Hiro, apa hubungannya sama dia, aku ibunya, nggak mungkinlah aku menyia-nyiakan dia.” Maura agak tersinggung.
Angga melirik ke Gardin. Kok sepertinya Gardin kurang senang ya mendengar project Maura itu. Wajahnya keruh banget begitu tahu kalau Maura mau jadi ibu kantin. Sepertinya Gardin ingin menyampaikan keberatannya pada Maura. Insting Angga mengatakan bahwa Gardin butuh waktu berdua saja dengan istrinya. “Kan, Anterin gue yuk!”
Arkan bingung. “Kemana?” Lagi tengah-tengah ngobrol kok malah diajak pergi?
Angga mengambil kunci mobil di meja makan. “Beli titipan Dagna, katanya sebelum dia dateng minggu depan, barangnya harus udah ada.” Angga pun menyeret Arkan.
“Apaan?”
“Apa gitu… udah yuk! Jalan dulu ya mbak, Bang.”
Gardin terdiam sesaat menunggu Arkan dan Angga benar-benar pergi dari unit itu. “Kenapa harus ngerjain projek Ra, kenapa nggak mini thesis aja. Kalau memang butuh data, kamu bisa ambil data perusahaan kita.” Gardin benar-benar tidak setuju dengan apa yang dilakukan Maura.
“Kita? Kamu kali.” Maura kebingungan kenapa sekarang Gardin bilang perusahaannya jadi perusahaan bersama. Sejak kapan ia punya hak atas perusahaan itu. “Projek ini penting buat aku, itung-itung aku belajar dan sekaligus praktek buka usaha kecil-kecilan.”
“Thesis aja berat Ra, apalagi projek seperti itu. Kamu yang penting bisa dapet gelar master kan, kenapa harus mempersulit diri?”
Maura agak kesal dengan apa yang disampaikan Gardin. “Kamu kenapa sih? Kok bukannya dukung aku malah keberatan gini?”
Gardin menghela nafas. “Bukan begitu, aku hanya ingin kamu cepat selesai kuliahnya, cepat pulang dan kembali ke aku.”
“Kamu itu egois ya, kok yakin banget aku mau kembali ke kamu?” Maura mulai meninggi.
“Maksud kamu apa? Kamu nggak mau balik ke aku Ra?” Gardin kaget.
Maura menghela nafas dengan begitu kasar. “Din, aku baru mempertimbangkan itu, belum memutuskan. Tapi melihat keegoisan kamu, aku jadi ragu.”
“Aku egois apa?” Gardin kebingungan tapi dia jadi latah ikut emosi.
“Kenapa kamu nggak suka aku mengerjakan projek?”
“Karena itu jauh lebih sulit dari mengerjakan thesis Ra.”
“Kamu meragukan kemampuan aku?”
“Bukan begitu, aku hanya nggak ingin kamu mengalami kesulitan.”
“Selain itu?” Maura sangat paham dengan Gardin. Dia tahu ada maksud terselubung dari keberatan Gardin. Sepuluh tahun bersama gardin, dia sangat mengenal suaminya itu.
Gardin menghela nafas. “Aku nggak ingin kamu buka kantin Ra, aku nggak ingin aku susah. Apa aku salah?”
“Siapa bilang aku susah, ini penting buat aku, karena begitu aku sampai di Indonesia aku akan buka usaha rumah makan.”
Gardin menghela nafas, dia benar-benar terdiam dalam duduknya.
“Sebenarnya inikan yang kamu nggak mau, kamu nggak menginginkan aku kerja, nggak mengijinkan aku mandiri?” Maura menatap tajam Gardin.
“Kamu istriku Ra, kamu kehormatanku. Kewajiban aku memenuhi semua kebutuhan kamu. Apa aku salah?” Gardin begitu frustasi.
“Setelah itu apa? Kalau kamu bosan kamu buang aku? Aku yang sepuluh tahun hidup dengan kamu tanpa pengalaman mandiri apapun, benar-benar kehilangan pegangan. Kamu fikir kondisi itu tidak mendatangkan trauma untuk aku? Kamu fikir aku akan senang kembali dalam kondisi yang sama? Kamu fikir aku sebodoh itu?” Maura benar-benar meluapkan semua emosinya.
Ternyata begitu dalam ya luka dan trauma yang dia buat pada istrinya ini. Gardin benar-benar terpana dengan semua luapan emosi Maura. “Apakah maaf dan janjiku tidak lagi bisa kamu percaya Ra?”
“Itu sama sekali nggak ada hubungannya dengan rencana hidupku Gardin. Aku sedang belajar untuk berdiri di kakiku sendiri. Ibarat burung, aku ini adalah burung tua yang sedang belajar terbang. Karena majikanku yang dulunya menyayangi aku, membuangku begitu saja. Meski begitu terlambat, tapi aku sedang berusaha. Tolong jangan patahkan sayapku lagi!” Dengan kasar Maura menutup laptopnya, dia pun bergerak ke dalam kamarnya.
Gardin kaget ditinggal Maura begitu saja. “Shit!” Jeritnya keras. Dia pun keluar unit itu dengan menutup pintu dengan kasar. Benar-benar butuh oksigen untuk meredam emosinya.
**
“Bang, elo kenapa?” Angga dan Arkan kebingungan mendapati Gardin sedang duduk di lantai bersandar di pintu depan unit mereka.
“Mbak Maura nggak ngusir elokan?”
Gardin cuma menggeleng, wajahnya suntuk banget. Nggak bisa ia sembunyikan.
Arkan dan Angga kebingungan menghadapi sang big bos. Mau diapain ya? Gimana menghiburnya ini, mukanya suntuk banget gini. Keduanya begitu kebingungan. Akward banget deh.
“Kita makan pizza yuk bang!” Ajak Arkan.
“Ha?” Gardin dan Arkan bingung.
“Dominos di sini buka sampe jam 3 pagi bang. Choco lavanya enak lho bang.” Arkan sedikit promosi.
Iya sih, dari pada suntuk gini, bener juga ide Arkan.
“Dari pada suntuk bang, gue juga laper lagi nih pengen makan pizza.” Angga kali ini yang ngebujuk.
Sekarang pukul 11 malam. Yah… boleh juga sih, Gardin akhirnya nurut. Dia bangkit dari duduknya di lantai yang dingin itu. Pukul sebelas malam, bulan July 5 derajat Celsius man… kembung deh tuh perut. Alamat kentut terus tuh bisa-bisa duduk di lantai dingin gini. “Kan, elo ambil sambel dulu gih!”
Ha, sambel? Angga dan Arkan bingung, kok ambil sambel?
“Katanya mau makan pizza, di sini kan pizza nggak ada saos sambelnya kayak di Indonesia, makanya bawa saos sambel dari sinilah.” Gardin heran kok nih dua bocah bingung disuruh bawa sambel.
Arkan garuk-garuk kepala, bener juga ya nih si bos. Suntuk-suntuk kalau urusan perut tetep jalan ya otaknya Hehehe. Arkan pun ke dalam unit mereka untuk mengambil saos sambal. Nggak lama, mereka pun berjalan kaki menuju dominos.
Dingin bo… Demi menghibur bos, tetep jalan deh.
Ketika mereka sudah di Dominos St Lucia, dan Pizza seafood sudah ada di hadapan mereka, ada hot chocolate juga yang membantu mereka menerjang dinginnya winter di Brisbane.
“Pelajaran banget ya buat kalian yang muda, pertama, jangan nikah kalau belum siap. Kedua, menikahlah dengan perempuan yang tepat, dan yang ketiga, kalau elo udah nikah dan hidup elo udah aman, jangan coba-coba memulai keisengan dengan selingkuh. Jangan nyakitin hati perempuan deh intinya. Akibatnya kayak gue gini nih… uring-uringan nggak jelas.” Gardin mulai curhat.
“Sabar bang, mau gimana lagi, udah kejadian.”
“Kurang sabar apa gue, hampir dua tahun gue nunggu maaf Maura. Masih juga gue digantung begini.”
“Nggak ada yang nyuruh elo nunggu bang, kalau nggak sanggup elo bisa cari yang lain.”
“Enak aja lo ngomong. Gue cuma Mau Maura.”
“Ya kalau gitu sabar. Elo nggak punya pilihan.”
Gardin hanya diam. Menghela nafas panjang, dengan setengah keinginan dia memakan pizzanya.
“Sebetulnya apa sih yang bikin berantem, kayaknya selama ini Mbak Maura baik-baik aja sama elo. Tinggal nunggu dia lulus, gue yakin dia mau balik ke elo kok. Apalagi sekarang udah ada Hiro?”
“Projeknya itulah. Bayangin aja pengen jadi ibu kantin. Bini gue mau buka kantin coba. Istri CEO, jadi ibu kantin, bisa elo bayangin nggak?”
Arkan bingung. “Masalahnya apa bang?”
Gardin mendadak pengen gigit orang karena gemes. Arkan masih kebingungan dia salah apa. Angga sebenarnya pengen ngakak lihat pemandangan itu. Temennya polos banget, bosnya harga dirinya tinggi bener. Hadeuh… repot ya?
“Seinget gue sih bang, yang namanya perempuan itu nggak bisa dilarang. Kalau makin kekeuh malah makin ribet.” Angga berusaha memberikan pencerahan.
Gardin diam. Betul juga sih.
“Kalau gue boleh ngasih saran sih, dukung ajalah bang, kalau perlu elo ikut terlibat, dampingin dan pelan-pelan ngarahin seperti yang elo mau.”
Gardin menghela nafas. Mungkin ada baiknya begitu, demi bisa membawa Maura dan Hiro pulang, dia harus banyak melakukan trade-offs. Pusing ya perempuan kalau ada maunya. Mendingan Maura minta beliin Hermes satu milliar deh dibandingkan mau jadi ibu kantin gini. Ah… Tadi Gardin benar-benar tanpa daya.
_*.....Bersambung.....*_