Janda CEO Part 5 (Novel)

JANDA CEO Part 5
Misi Persahabatan

Minggu pertama bulan Oktober Angga dan Arkan sudah siap untuk berangkat. Kelengkapan administrasi telah selesai, walaupun semua dikerjakan secara ngebut. Ya memang agen yang ditugaskan Gardin mempermudah semuanya sih. Bener-bener deh kalau bos besar ada maunya semuanya jadi cepet.

Sekarang, Angga dan Arkan ada di ruangan sekertarisnya Gardin namanya Mbak Mia. Mereka ada di sana karena Mbak Mia inilah yang memberikan mereka tiket untuk terbang ke Brisbane. Arkan dan Angga menerima tiket itu dan berterima kasih. Hari ini merupakan hari terakhir mereka bekerja sebelum berangkat ke Brisbane. Mereka dikasih libur dua hari dan setelahnya mereka langsung berangkat ke Brisbane.

“Kalian ditugasin apa sih sama Pak Gardin, sampai-sampai dapet tiket kelas bisnis?” Mbak Mia penasaran. Baru ini ada staff junior tugas dapet tiket bisnis. Biasanya fasilitas kantor itu hanya memberikan penerbangan kelas bisnis pada staf yang kedudukannya minimal senior manager.

Angga dan Arkan kaget dan saling bertatapan tak percaya mendengar informasi dari Mbak Mia.

“Serius mbak ini kelas bisnis?” Angga masih nggak percaya.

Mia pun mengangguk. “Harus aku lagi yang pesan, nggak boleh orang keuangan, Pak Gardin sampai berkali-kali wanti-wanti.”

Wow… cuma itu komentar yang terfikirkan keduanya.

“Boleh ketemu Pak Gardin nggak mbak?”

Mbak Mia mengangguk. “Kalian memang sudah ditunggu. Di dalam juga ada Pak Jason kok.”

Angga mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Gardin. Dari dalam Gardin memerintahkan untuk masuk. Angga dan Arkan pun masuk ke dalam ruangan dengan takut-takut. Mereka pun langsung duduk di sofa di hadapan Jason dan Gardin dengan canggung.

“Sudah siap berangkatkan?” Tanya Jason.

Arkan dan Angga mengangguk bersamaan.

“Sebelumnya makasih banyak bang, kita dikasih kelas bisnis terbangnya.” Arkan mencoba untuk sopan.

“Jangan seneng dulu lu. Gue ngasih bisnis biar kalian bisa tidur di pesawat. Karena begitu landing kalian langsung kerja.” Jawab Gardin.

Mendengar informasi tersebut Angga dan Arkan langsung manyun. Busyet deh nih bos nggak boleh bener yak anak buahnya seneng bentar.

“Begitu kalian landing, kalian akan dijemput oleh Pak Syarif. Pak Syarif itu detektif yang dibayar Gardin untuk menjaga Maura. Nanti Pak Syarif akan memberi tahu apa yang harus kalian lakukan ya.” Jason memberikan instruksi pada keduanya.

“Ok bang.” Angga dan Arkan menjawab bersamaan.

“Begitu sampai kalian langsung beli nomer Australia ya, nanti kalian tambahin grup WA kita dengan nomer Australia kalian itu.” Kali ini Gardin yang memberikan instruksi.

“Siap bang.”

“Di grup nama gue sama bang Jason udah kalian gantikan?”

“Sudah bang. Sesuai kesepakatan. Bang Gardin jadi Andra, Bang Jason jadi Malik.”

Jason terkekeh mendengar namanya jadi Malik. “Kalian nemu nama itu dari mana sih? Terserahlah. Kita menjaga aja jangan sampai Maura tahu kalau kita yang menyuruh kalian berteman dengan dia.”

“Nah itu bener, apapun yang terjadi jangan sampai kalian mengaku kalau kalian disuruh kita ya!”

“Iya bang.”
**
Nggak usah di ceritain yah bagaimana noraknya Angga dan Arkan terbang dengan business class pertama kalinya dalam hidup mereka. Yang pasti mereka seneng bangetlah, Untuk pertama kalinya di udara mereka merasakan yang namanya red and white wine. Tapi ternyata anak-anak muda ini mampu mengontrol diri mereka. Ingat akan ada tugas berat yang harus mereka emban ketika mereka landing. Kedua anak muda itu lebih memilih untuk tidur di dalam pesawat dalam kenyamanan mereka terbang. Nyaman banget yah bobo di business class itu, nggak usah minta geseran dikit sama penumpang lain. Hehehe… dikira angkot kali geser dikit.

Begitu landing di Brisbane sesuai rencana mereka langsung dijemput oleh Pak Syarif. Pak Syarif pun mengantarkan mereka ke apartemen mereka. Jangan dibayangin apartemen yang dimaksud gedung tinggi ya. Apartemen ini berada dalam pemukiman di daerah St.Lucia, lebih mirip town house sih, bangunannya hanya berlantai tiga. Apartemen itu terdiri dari tiga kamar tidur yang terletak di lantai satu.

Tugas berat pertama mereka adalah membuat Maura bersedia tinggal bersama mereka. Pak Syarif menunjukan kamar untuk Maura, kamar terbesar yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Sedangkan dua kamar lainnya untuk Angga dan Arkan memiliki kamar mandi di luar kamar, mereka harus berbagi kamar mandi itu. Nggak masalah sih, apartemen ini nyaman kok. Menurut Pak Syarif apartemen ini dibeli Gardin untuk Maura begitu ia tahu Maura ada di Brisbane. Pak Syarif yang mengurus semua proses pembelian apartemen ini. Jadi mereka nggak perlu pusing dengan membayar mingguan sewa apartemen ini. Bahkan untuk tagihan listrik, internet dan maintenance pun langsung ditagihkan ke kantor. Mereka hanya cukup tinggal di sini, dan berusaha membuat Maura mau tinggal bersama mereka. Pak Syarif pun langsung menyerahkan pada mereka sebuah mobil bermerk Toyota seri Harrier untuk mereka gunakan sebagai armada mereka memberikan pelayanan prima pada Maura. Untuk operasional mobil dan lain-lainnya, Pak Syarif menyerahkan kartu ATM yang berisi dollar yang cukup banyak. Lengkap semua fasilitas untuk mereka, eits… jangan salah ini semua bukan untuk mereka, tapi untuk Maura. Angga dan Arkan hanyalah perantara agar semua fasilitas ini sampai pada Maura tanpa Maura mengetahuinya. Bagaimana caranya nih?

“Ini akan menjadi kamar ibu Maura pak?” Tanya Arkan pada Pak Syarif.

Arkan, Angga dan Pak Syarif sedang memasuki ruangan tidur yang direncanakan untuk Maura.

Pak Syarif mengangguk. Lalu memberi kode untuk keluar kamar itu. Mengajak mereka untuk memasuki salah satu kamar yang nantinya akan menjadi kamar Angga atau Arkan.

“Begini, Kamar ibu Maura, ruang tengah dan dapur telah dilengkapi oleh kamera CCTV yang aksesnya hanya bisa dilihat oleh Pak Gardin.” Pak Syarif mulai menjelaskan. “Jadi kalian jangan sembarang bertindak di tempat itu. “

Angga dan Arkan pun mengangguk mengerti.

“Saat ini ibu Maura tinggal di lantai atas. Nah tugas kalian bisa membuat ibu Maura bersedia tinggal bersama kalian. Buat beliau percaya bahwa kalian hanyalah mahasiswa yang baik, yang nggak tega melihat perempuan hamil harus naik turun tangga, sedangkan unit kalian terletak di bawah.”

“Ibu Maura sudah hamil berapa bulan pak?”

Pak Syarif berusaha mengingat. “Kira-kira tujuh bulan, sudah kelihatan kok dia sedang hamil.”

Angga dan Arkan mengangguk mengerti.

Sekarang ini kan weekend biasanya beliau akan pergi belanja mingguan ke Coles Toowong. Kalian bisa mulai menyapa dan mencoba berkenalan siang ini. Tapi jangan berlebihan, coba se-natural mungkin.”

Angga dan Arkan menyimak penjelasan Pak Syarif.

“Coba kenalan dengan mengatakan bahwa kalian orang baru, minta petunjuk di mana harus belanja groceries, dan coba menawarkan diri untuk pergi bersama, seakan-akan begitu kebetulan bahwa beliau juga ingin belanja.”

Hm… cara yang masuk akal sih.

“Tapi berusaha sangat sopan ya, buat beliau percaya bahwa kalian orang baik. Tumbuhkan rasa percaya beliau pada kalian, karena misi utama kalian adalah membuat dia bersedia tinggal bersama kalian.”

Arkan dan Angga pun kembali mengagguk mengerti.

Pak Syarif melirik ke jam dinding. Sekarang pukul 11 siang. “Masih ada waktu satu jam, biasanya ibu Maura pergi jam 12 siang. Kalian kalau mau mandi atau siap-siap sekarang deh!” Ia pun berjalan ke ruang tengah. Dan membiarkan Arkan dan Angga memilih kamar mereka, setelahnya mereka harus bersiap untuk menjalankan misi pertama mereka, misi persahabatan.
**

Pak Syarif mengintip dari jendela, memperhatikan acting Angga dan Arkan. Dia tersenyum dan ingin tertawa melihat dua anak muda itu mencoba tampil senatural mungkin.

“Kita nanya sama siapa?”

“Gue juga nggak tahu.”

“Apa kita ketok salah satu unit aja?”

“Gila lo… ini bukan Jakarta, mana bisa kita kayak begitu.”

Maura pun melintas dan memperhatikan dua anak muda yang sedang kebingungan itu. “Halo.” Sapanya pada Angga dan Arkan.

Angga dan Arkan pun tersenyum.

“Indonesia?”

Maura mengangguk dan masih tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?”

“Ini bu, eh mbak…” Arkan ragu diapun sedikit melirik perut Maura.

“Mbak aja.” Maura meralat.

“Iya mbak, kita baru landing dari Jakarta, kebingungan mau ke supermarket beli bahan makanan sama keperluan harian. Mau nanya bingung nanya sama siapa?”

“Oh begitu. Kebetulan saya juga mau belanja mingguan. Mau bareng?” Maura dengan ramah langsung menawarkan diri.

“Nggak ngerepotin mbak?” Kali ini Angga yang bertanya.

“Sama sekali nggaklah, kan saya juga mau ke sana.”

“Oh gitu ya mbak. Kita naik mobil yuk mbak, kebetulan omnya Angga minjemin kita mobil.”

Maura mengangguk. “Boleh, dengan senang hati malah, nggak perlu ke halte bis.” Maura tertawa ramah.

Mereka pun berjalan ke parkiran mobil.

“Eh kenalan dulu mbak, Saya Angga.” Angga memberikan tangannya untuk dijabat, Maura menerima dengan ramah.

“Saya Arkan mbak.”

Maura kembali tersenyum. “Saya Maura.”

“Makasih banyak ya mbak, sudah bersedia menemin kita.”

Mereka pun mengobrol terus menuju mobil yang dimaksud.

Melihat pemandangan itu Pak Syarif menghela nafas lega. Satu misi telah berjalan baik. Ternyata dua anak yang awalnya begitu meragukan bisa dipercaya mengemban tanggung jawab. Malam ini, Pak Syarif bisa pulang ke Jakarta dengan tenang.

Ditinggal sendirian di unit ini membuat Pak Syarif menjadi termenung. Pak Syarif dulu adalah orang kepercayaan Pak Handoko ayahnya Gardin. Mengenai Maura, ini kedua kalinya Pak Syarif bekerja. Yang pertama lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Pak Handoko sendirilah yang menyuruh Syarif untuk mencari tahu tentang Maura. Ketika itu Gardin begitu tergila-gila dengan Maura. Pak Handoko ingin mengetahui seperti apa Maura itu, bagaimana latar belakang keluarganya. Pak Handoko adalah orang tua yang sangat open-minded pada saat itu. ia hanya tak ingin anaknya jatuh cinta pada orang yang salah. Begitu mengetahui kalau Maura berasal dari keluarga baik-baik yang tidak memiliki track record buruk, dan kepribadian Maura pun baik, Pak Handoko langsung merestui hubungan anaknya, walaupun secara ekonomi keluarga Maura sangat kekurangan. Hal itu tidak masalah bagi Handoko. Dan sekarang, justru Gardin lah yang menghubungi Pak Syarif, memintanya mencari Maura di Brisbane, mengawasi dan menjaganya sampai ada orang suruhannya yang akan menggantikan posisi Pak Syarif dengan tugas-tugasnya itu. Sebenarnya Gardin memintanya untuk lebih lama menjaga Maura, hanya saja ada permasalahan administrasi. Orang suruhan Gardin begitu terburu-buru mengurus visa untuk Pak Syarif, hingga akhirnya visa itu hanya single entry dan hanya bertahan selama tiga bulan. Untuk kembali lagi ke sini, artinya ia harus mengulang apply visa lagi dari awal, dan butuh waktu tidak sebentar.  Ya sudahlah, toh sekarang sudah ada Angga dan Arkan yang bertugas menjaga Maura. Dan sepertinya mereka bisa diandalkan kok.
**

(Bang ini ibu Maura?) Arkan mengirimkan photo Maura melalui grup WA. Photo itu diambilnya secara diam-diam ketika Maura sedang belanja bersama mereka.

Maura terekam dalam kamera sedang menggunakan baby doll berwarna biru langit selutut, rambutnya terikat ekor satu, dan menggunakan flatshoes berwarna krem. Terlihat Maura begitu santai tapi tetap anggun. Aura keibuannya begitu melekat karena kehamilannya telah terlihat jelas. Photo itu sedang memperlihatkan dirinya sedang mengamati satu produk coklat.

Gardin terpana melihat pemandangan itu, baru kali ini dia mendapatkan photo yang begitu jelas. Pak Syarif memang sering mengirimkan photo Maura padanya tapi photo kali ini terlihat begitu berbeda. Sepertinya Arkan memang seorang photographer amatir yang baik. “Astaga, kamu makin cantik kalau lagi hamil begini sayang.” Gardin bicara sendiri karena begitu takjub. Seketika Gardin begitu kangen Maura. Jantungnya berdetak begitu kencang memandangi photo itu. Mengutuk dirinya sendiri, bodoh benar dirinya melepas istrinya pergi begitu saja.

(Bang, bener nggak?)

(Iya bener, Gardin lagi kangen Maura gara-gara lihat photo itu makanya nggak jawab elo) Jason yang menjawab pertanyaan Arkan.

(Oo)
(Kalian lagi ngapain sekarang?) Tanya Jason

(Lagi belanja bareng ibu Maura bang, kita tadi kenalan sama beliau disuruh Pak Syarif nanya supermarket sama Ibu Maura, biar ada alasan kenalan)

(Ya udah terusin aja, ntar aja kalian laporan lagi)

(Ok bang)

Percakapan pun terputus.

Gila lo bang, ternyata elo bener-bener kenal gue. Gardin bicara dalam hatinya. Elo memang benar gue kangen banget istri gue…


“Mbak Maura makasih banyak ya.” Angga berterima kasih pada Maura ketika mereka telah kembali ke unit mereka. Sekarang mereka berada di depan tangga menuju unit Maura.

Maura tersenyum. “Saya yang makasih lho, ini udah dapet tebengan, dibawain lagi belanjaannya.”

“Kita bawain ke unit mbak Maura ya mbak. Mbak Maura tinggalnya di mana?” Tanya Arkan yang masih membawa belanjaan Maura.

“Saya tinggal di atas unit kalian, tapi nggak usah. Makasih banyak ya.” Maura bermaksud mengambil belanjaannya yang masih dibawakan Arkan dan Angga.

“Eh jangan mbak! Sudah kita bawain ya.”

Angga dan Arkan langsung menuju tangga yang dimaksud membawakan belanjaan itu naik ke unit Maura.

Maura tersenyum dan pada akhirnya membiarkan mereka berjalan mendahului dirinya. Mengerti sih, laki-laki baik pasti nggak akan tega melihat perempuan hamil mengangkat belanjaan demikian banyaknya. Ah andai saja yang membawakan itu Gardin, tentunya Maura sangat bahagia. Maura pun hanya berjalan menyusuri tangga dibelakang keduanya. Ketika mereka berada di depan unitnya, Maura pun membukakan pintu dengan kunci yang sedari tadi dipegangnya. Setelahnya mempersilahkan keduanya masuk.

“Mampir dulu yuk, saya bikinin es syrup?”

Arkan dan Angga langsung nyengir. Ya mau bangetlah. Merekapun langsung masuk ketika telah dipersilahkan oleh si pemilik rumah. Mereka pun duduk manis di ruang tengah. Unit ini rapih banget, nyaman banget deh. Mereka pun mengamati seluruh sudut ruangan itu.

“Unit ini berapa kabar mbak?” Arkan pun berbasa-basi.

“Dua kamar.”

“Mbak berdua sama suami tinggal di sini?”

Maura memberikan minuman yang dibuatnya pada keduanya setelahnya diapun menggeleng. “Saya sendirian, ya beberapa bulan lagi akan berdua dengan yang di perut ini.”

“Oh suami nggak ikut mbak?”

“Mantan suami saya di Jakarta.”

“Eh… maap mbak.” Arkan diam.

“Elo sih.” Angga berkata pelan.

Arkan menjadi menyesal.

“Nggak papa kok.” Maura meminta untuk berhenti menyalahkan. “Kalian kuliah di UQ?”

“Eh iya mbak. Kita ambil Master, hukum.” Jawab Angga.

“Oh, kok datengnya bulan begini?”

“Iya mbak, kita ikut kelas bahasa Inggris dulu mbak, khusus writing aja, karena writing kita masih jelek.”

“Oh, di ICTE?”

“Iya mbak, kok tahu?”

“Saya juga lagi kursus di ICTE, kalau saya karena menunggu melahirkan dulu. Karena kemungkinan anak ini lahir di bulan desember makanya saya mengambil kursus dulu aja, baru bulan February kuliah master juga.”

“Oh begitu. Kenapa nggak melahirkan di Indonesia aja mbak?” Angga penasaran.

Maura tersenyum. “Yah sebenarnya saya ada masalah dengan mantan suami, jadi saya agak-agak berusaha menghilang dari dia, makanya saya memutuskan melahirkan di sini aja.” Entah kenapa Maura begitu mudah bicara jujur dengan kedua orang yang baru dia kenal. Apa mungkin karena dia selama ini jarang bertemu dengan orang selain teman sekelasnya ya, sehingga tiba-tiba aja bawaannya pengen curhat.

“Oh maaf mbak.” Kali ini Angga yang merasa terlalu banyak bertanya.

“Nggak papa kok. Saya yang minta maaf nih, kok ketemu kalian bawaannya pengen curhat aja, padahalkan kalian orang baru. Apa bawaan bayi ya?”

“Ah nggak papa kok mbak. Kadang curhat dengan orang yang baru dikenal malah lebih nyaman.”

Maura pun tersenyum.

“Mbak, tapi ngomong-ngomong kenapa tinggal sendirian tapi dua kamar begini?”

“Saya dicarikan tempat tinggal oleh kenalan dari pengacara saya, karena terburu-buru yang ada tempat ini, ya sudah saya terima saja. Walaupun memang agak berlebihan sih, saya tinggal sendiri jugakan. Tapi saya hanya ngontrak enam bulan kok di unit ini, dan sudah berjalan tiga bulan juga.”

“Oh begitu.”

“Eh mbak, kalau nanti malam kita undang makan malam di unit kita mau nggak? Ya biar lebih akrab saja sama tetangga?” Tiba-tiba Arkan mengeluarkan ide.

“Kalian kan baru pindah, apa sudah siap menyambut tamu?” Maura bingung.

Arkan garuk-garuk kepala. “Iya ya…”

“Ya sudah, kalian nanti malam makan malam di sini saja, saya aja deh yang mengundang.”

“Beneran mbak?” Angga yang kali ini bertanya.

Maura mengangguk.

“Tapi saya aja yang masak ya mbak, saya bisa masak lho. Kata ibu saya masakan saya enak.” Pinta Arkan.

“Oh ya?” Maura dan Angga heran.

“Ibu saya orang tua tunggal mbak. Karena ibu saya seharian kerja, saya dari kecil terbiasa masak untuk saya dan adik saya. Ibu saya yang ngajarin setiap weekend.”

“Oh begitu. Ok deh, saya mah setuju-setuju aja.”

“Ok deh sampai nanti malam ya mbak.”

Angga dan Arkan pun pamit setelah mereka menghabiskan syrup yang dihidangkan Maura.


Sejak perkenalan hari itu, mereka menjadi sangat akrab. Setiap pagi mereka berjalan bersama menuju tempat kursus mereka, dan kemudian pulang bersama. Mereka memang memiliki jadwal kursus yang sama, sehingga memudahkan untuk kesemuanya berangkat dan pulang bersama. Angga dan Arkan menawarkan Maura untuk berangkat kursus dengan kendaraan yang mereka punya, tapi Maura menolak. Karena sebenarnya lokasi mereka tinggal tidak terlau jauh dari ICTE tempat mereka kursus. Berjalan kaki sangat menyehatkan bagi ibu hamil. Begitu dalih Maura. Akhirnya Angga dan Arkan mengalah saja. Persahabatan yang baru mereka jalin berjalan sangat nyaman. Maura ternyata memiliki personality yang ramah dan menyenangkan. Dan sepertinya dia memang kesepian sehingga Angga dan Arkan dengan mudah bisa menjadi sahabat baiknya. Hati kecil Maura juga melihat ketulusan keduanya untuk berteman, sehingga dia amat membuka diri.

Misi pertama telah berhasil, menjalin persahabatan dengan Maura. Semua telah dilaporkan pada Gardin dan Jason. Arkan dan Angga sering kali mengajak Maura untuk makan di unit mereka sehingga kegiatan mereka bisa dipantau Gardin. Gardin sangat senang dengan kemampuan Arkan dan Angga berteman dan melindungi Maura. Selanjutnya menjalankan misi kedua. Yaitu mengajak Maura tinggal bersama dengan mereka. Tapi untuk hal itu bisa terjadi, nggak akan mudah. Harus pelan-pelan. Menanamkan kepercayaan yang utuh bagi Maura terhadap keduanya. Gardin dan Jason pun meminta mereka tidak terburu-buru untuk menjalankan misi kedua mereka.

“Mbak Maura rencananya mau melahirkan di mana?” Angga bertanya ketika mereka telah selesai menikmati hidangan makan malam di unit Angga dan Arkan. Sudah menjadi kebiasaan buat mereka untuk makan malam bersama menikmati hidangan buatan Arkan. Kadang-kadang mereka makan di luar juga sih.

“Kalau ngikutin aturan asuransi alliance sih gue harusnya melahirkan di Royal Brisbane Women hospital itu. Tapi itu terlalu jauh. Jadi gue memutuskan untuk melahirkan di Wesley aja.” Maura menyebutkan rumah sakit swasta yang terletak di Coronation Drive. Memang letaknya lebih dekat dibandingkan RBWH dari tempat mereka tinggal.

“Jangan sungkan ya mbak minta anter sama kita, mumpung mobil omnya Angga masih sama kita.” Pinta Arkan.

Maura tersenyum penuh terima kasih. Dia memang butuh bantuan dari mereka.

“Ini beneran lho mbak, bukan basa-basi.” Angga pun menegaskan.

“Semenjak gue kenal kalian, kok jadi manja gini ya? Belanja ditemenin, bahkan ke kampus pun selalu sama kalian.” Semenjak mereka sudah merasa akrab, Maura sudah meminta mereka untuk lebih luwes dengan menggunakan gue-elo dalam komunikasi mereka.

“Lha, memangnya kenapa, kita nggak keberatan kok.”

“Kalian nggak risih apa, mainnya sama perempuan hamil? Kalian kan masih muda, ya mainnya sama yang muda-muda juga lah. Gue nggak pernah lihat lho kalian main sama siapa gitu"

Arkan dan Angga hanya nyengir..... 

>>>bersambung