DI tengah keterpurukan, Abdul Hamit, seorang penyandang disabilitas mempunyai cara unik untuk bangkit. Pria 40 tahun harus menerima usaha sablon yang ditekuni dan menjadi pekerjaan utama sejak 1994, sepi pelanggan.
Tuhan tidak tidur. Pria asal Banyuwangi ini menemukan ide kreatif membuat miniatur kapal dari limbah triplek bekas di sekitar rumahnya. "Awalnya. saya membuat kapal ini untuk anak saya," ujarnya.
Abdul Hamit lantas berselancar di YouTube, mencari cara membuat kerangka kapal. Semula, dia menggunakan kertas karton, tapi karena tidak awet, akhirnya cari alternatif. Terpilihlah, triplek bekas yang sudah tidak terpakai.
Dengan peralatan seadanya, seperti cutter, gunting, penggaris, dan lem, dia berusaha menghasilkan karya miniatur sebaik-baiknya di rumahnya, Jl Tempel Sukorejo, Surabaya.
Abdul Hamit tahu persis, karya kreatifnya akan lebih bagus dan rapi jika menggunakan peralatan seperti grenda kecil, poles, dan bor tembak kecil.
"Tapi, ya mau gimana lagi saya tidak punya uang untuk membeli peralatan itu," ujar pria yang tergabung dalam Komunitas Disable Motorcycle Indonesia (DMI) Jatim ini.
Untuk proses pembuatan, Abdul Hamit membuat kerangka kapal dengan triplek tebal, kemudian melapisi bodi kapal dengan kulit triplek.
Yang susah ketika membuat kamar atau ruangan kapal beserta detail jendela, pintu, dan lain-lain. Maklum, dia hanya menggunakan cutter yang sudah tumpul, bukan bor tembak.
Detail tangga dibuat dari bambu dan bendera triplek yang melengkung menggunakan kulit triplek yang sudah dikeringkan menggunakan lem agar tidak mudah patah saat dibengkokkan.
Untuk finishing (perataan), Abdul Hamit memakai kertas gosok sehingga saat plamir atau pernis dapat tahan lama dan mengilat.
"Kalau pelanggan request minta dicat, saya biasa pakai cat sablon sisa usaha sablon saya karena punyanya ya itu, lagi pula cat sablon juga tahan lama," terangnya.
Rezeki mulai berdatangan saat ada sanak saudaranya berkunjung dan tertarik melihat miniatur kapal buatannya. Dari mulut ke mulut, dalam beberapa bulan terkahir, Abdul Hamit telah menerima 15 pesanan.
Dia butuh waktu satu minggu atau lebih untuk menyelesaikan satu kapal. Hasil uang penjualan miniautur ini sangat membantu perekonomian keluarga seperti belanja bahan makanan.
Soal harga? Abdul Hamit tak berani mematok harga karena dia mengakui, hasil karya kurang maksimal akibat keterbatasan peralatan.
"Kalau di internet, bisa sampai rp 1 juta lebih, namun karena ini juga dari triplek bekas, jadi seiklasnya yang ngasih saja. Ada yang memberi Rp 250.000 hingga Rp 350," tutupnya. (zia)