Teknik Informatika ITB, Sebuah Cerita, Sebuah Kesimpulan

Teknik Informatika ITB, Sebuah Cerita, Sebuah Kesimpulan

Senang sekali akhirnya saya menyelesaikan bab kuliah sarjana di buku kehidupan saya. Kayak cepet tapi kalau dipikir-pikir lama juga sih?! Kayak apa ya, masih wow gitu bisa sampai di akhirnya saat ini.
Ini adalah kompilasi semua hal yang dilalui selama kuliah ini.

Tulisan ini udah mangkrak sebulan lebih. Bahkan di bulan Juli saya nggak posting apa-apa ih sedih banget. But anyway, thanks to my dear Yuhe yang mensponsori foto header postingan ini. Akhirnya saya memakai toga ITB meskipun di gambar doang. ??

Jadi apa yang sudah didapat atau disadari setelah kuliah di ITB?


Nyesel Nggak Kuliah?

Dulu pernah nulis Kuliah untuk Apa? yang isinya kebingungan saya tentang alasan sesungguhnya saya kuliah. Sempet-sempetnya mempertanyakan ini setelah separuh kehidupan kuliah dijalani. Wkwkwk.

Ada yang berpendapat sebenarnya kuliah IT tuh nggak perlu tau, cukup ambil kelas-kelas online. Kalau menurut saya, tergantung banget tipe orangnya. Saya orangnya baru bisa konsisten kalau ada beban tanggung jawab. Kalau kuliah kan beban tanggung jawabnya yaitu harus bisa lulus, sayang-sayang uang yang dibayar buat UKT-nya, sayang-sayang udah jauh-jauh kuliah di Bandung. Pokoknya kalau ada hal yang dipertaruhkan, saya baru bisa terpacu untuk berkembang. Tapi mungkin memang ada beberapa orang yang nggak perlu seperti itu. Orang-orang yang bisa mengatur diri sendiri agar bisa terus belajar, terus berkembang tanpa adanya beban dahulu. Makanya, mungkin bagi beberapa orang kelas online cukup. Tapi bagi beberapa yang lain, termasuk saya, itu tidak cukup. Motivasinya kurang tolong. Wkwkwk.

Yang nggak kalah penting, kuliah memberikan saya kepercayaan diri. Yang saya rasakan adalah, saya bisa kok, saya pernah belajar ini, saya pasti bisa. Saya nggak bakal bohong kalau dengan modal lulusan kampus, kepercayaan diri saya jauh lebih nyata. Saya rasa nggak salah kalau kuliah untuk menambah kepercayaan diri terutama ketika memasuki dunia kerja. Iya tau banget, kuliah pun tidak menjamin jalur mulus di dunia kerja. Tapi paling tidak kepercayaan dirinya bisa terbentuk. Kepercayaan diri mampu membuat seseorang berani bermimpi dan mau mencoba. Ini modal awal banget untuk menghadapi dunia deh serius. Karena kita sama-sama nggak tau, kesempatan mana sih yang bakal membawa kita ke kehidupan yang lebih baik.

Dan satu hal lagi yang penting bagi saya. Kuliah menyediakan sarana interaksi dengan berbagai macam manusia. Saya jadi ngerasa, wah ada ya ternyata orang modelan kayak begini, wah ada ya orang yang kayak begitu, wah ternyata dunia nggak hitam putih banget. Ternyata dunia itu seperti spektrum warna. Merah isinya bukan hanya merah, tapi ada merah muda, merah maroon. Biru isinya bukan cuma biru, tapi ada biru dongker, biru langit, biru turquoise. Intinya macem-macem lah dunia ini dan manusianya. Kesadaran ini yang membantu saya banget untuk less judgmental terhadap orang lain.

Jadi, nyesel nggak kuliah? Jelas saya nggak nyesel sama sekali. Doakan bisa kuliah lagi. Hehehe.


Tidak Semua Orang Baik

Sebelum kuliah, saya sekolah di 'penjara suci'. Disebut penjara suci karena sekolah saya adalah sekolah asrama dengan sokongan spiritual yang kuat. Semua orang yang saya temui di sana orang baik. Tapi, begitu masuk kuliah, agak kaget ya ternyata ada lho definisi orang tidak baik. Definisi orang tidak bertanggung jawab. Definisi orang egois. Definis orang problematik. Definisi orang minta ditampol. Macem-macem lah pokoknya.

Ini blog saksi bisu saya marah-marah selama di ITB lewat berbagai tulisan. Wkwkwk. Takut kalau ditahan-tahan malah jadi penyakit (((alesan))).


Nggak Nyaman Sama Orang Lain itu Wajar

Menyadari ini banget gara-gara salah satu UKM di ITB. Tiap ngumpul sama orang-orang ini rasanya saya pengen cepet-cepet pulang aja. Hahaha. Nggak bisa keep up obrolan aja gitu sama mereka.

Tidak cocok dengan beberapa orang adalah keniscayaan. Kayak kamu nggak mungkin bisa cocok dan klik sama semua orang. Pasti ada aja satu dua orang yang kalian ngerasa enggan aja buat ngobrol, enggan aja buat deket-deket, males aja gitu. Entah nggak cocok sama prinsipnya, perilakunya, lingkungannya, atau apapun deh. Dan kalau udah sadar nggak cocok, nggak apa-apa banget untuk menjauh. Karena kita nggak punya hak untuk mengubah hal yang nggak cocok sama kita tadi. Yang bisa dilakukan adalah menjauh dan menjalani prinsip masing-masing.


Prinsip Masing-Masing, Perasaan Maing-Masing

Bener-bener memasuki fase menyadari bahwa perbedaan itu nyata dan setiap orang pasti punya prinsip masing-masing. Sesimpel perbedaan dalam memilih makan siang apa dan dimana. Saya belajar untuk lebih berdialog dengan diri saya sendiri. Saya maunya apa ya? Karena lingkungan kampus yang sangat heterogen juga, saya jadi sering mengobservasi diri sendiri. Misalnya, suka nggak sih kalau saya diperlakukan seperti ini? Terima nggak sih kalau sikap orang itu seperti ini? Apa sih yang saya mau? Sebenarnya bagaimana perasaan saya terhadap hal tersebut? Senang? Sedih? Marah? Malu? Suka? Satu hal yang pasti, saya belajar untuk tidak denial terhadap perasaan apapun dalam diri saya. Saya jadi belajar menerimanya, karena perasaan itu adalah bagian dari saya. Selain belajar menerima, saya juga belajar mengutarakannya. Selama ini kayaknya saya terkungkung dengan budaya nggak enakan orang Jawa. Tapi berkat kesadaran tentang prinsip dan perasaan masing-masing, saya jadi lebih berani buka suara. Lebih berani menolak jika memang suatu hal tidak sejalan dengan prinsip maupun perasaan saya. Lebih terbuka dengan orang lain. 

Pas mengulang tes MBTI, nilai extroverted saya naik masa.


Pusing Skripsi is Real

Udah pernah bilang, dulu saya merasa kating-kating itu terlalu lebay lah sama kepusingan skripsi. OH, TUNGGU DULU SAMPAI KAMU SKRIPSIAN. Bukan menakut-nakuti, brace yourself aja sih. Beneran yang dirasakan pas skripsi itu males bangetnya ada, mau mulai tuh susah banget, mau ngelanjutin makin susah, tinggal dikit kok ya udah capek banget. Ya Tuhan kenapa nggak kelar-kelar. Gitu aja terus sampai ganti presiden.


Nggak Wisuda

Jujur masih sedih karena terancam nggak ada wisuda padahal Wisudaan ITB seru abis tolong. Huhuhu. I am so sad so that I tell it to everyone in every platform. Mau lagi ngobrol kek, chat kek, telfonan kek, tulisan blog kek, ini mulu yang saya ucapkan. Sedih banget gimana dong. :(


***

Apalagi ya. Nanti kalau inget mau ditambah. Kalau nggak, berarti saatnya bilang ...

Selamat tinggal, ITB.