Oleh: @jailaniansera
�Baiklah Irene,� kata Ludwik sambil memperlihatkan wajah cemas dan gusar . �Telah aku sediakan kertas dan bolpen .� Tambahnya pula sambil berusaha tersenyum tipis. Manis dan menawan . Sedangkan mata laki -laki di depanku itu sayup dan tenang sebagaimana laki -laki Jerman pada umumnya .
Aku menatap wajahnya keheranan .
�Perlu aku bacakan ini ?� tawarnya . Lalu ia memulai untuk membaca kertas tersebut ketika melihat ku mengangguk .
�Surat perjanjian sebelum pernikahan .� Mulainya dengan suara dalam dan serak . �Baiklah , ku pikir lansung ke poin -poinya saja . Pertama, kita akan tinggal di rumah yang telah aku pilihkan . Dua kamar tidur , dua kamar mandi , satu dapur minimalis dengan dua kompor , atap dari tanah liat merah ,� ia berhenti sejenak dan menatapku , �biar ramah lingkungan!� Tegasnya .
Aku menggeleng kepala . Sumpah pembicaraan malam ini sungguh mengganggu . Terlebih pula kami berada di caf� dan Ludwik membaca surat itu dengan keras . Seolah -olah sekarang aku sedang bertemu dengan pengacara .
Masih dalam keadaan mengabaikan ku , ia melanjutkan . �Ketiga , untuk makan keluarga kita . Sarapan tepat pukul tujuh pagi . Semuanya sudah berkumpul di��
�Poin berikutnya !�
�Ku rasa kau benar -benar harus memahami yang satu ini .�
�Ku bilang lewatkan saja !�
�Semuanya tidak akan berjalan lancar tanpa direncanakan . Kau tahukan , betapa sulitnya aku merencanakan semua ini ?�
Ku lihat ia menundukkan wajah di meja . Sepertinya sedang kecewa dan putus asa . Ah, Ludwik aku sungguh mencintaimu secara tulus . Akan tetapi kau tahu ? Cinta seharusnya dilakukan secara sederhana .