Tulisan ini harusnya dibuat sekitar setengah bulan lalu, tapi yasudahlah. Keprihatinan terhadap 'usia' bahasa daerah mencuat ketika membaca (judul) beberapa artikel berita yang berbunyi senada. Sebelas Bahasa Daerah Punah. Prihatin tentu. Karena bahasa ibu saya adalah bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa.
Kalau saya liat-liat sepertinya ada sebuah tren yang memperburuk keberadaan penutur bahasa daerah. Pertama orang-orang daerah hijrah ke kota besar. Lalu seiring berjalannya waktu orang tadi mulai membangun keluarga di kota tersebut dan menetap permanen di sana. Karena di kota hanya kemampuan berbahasa Indonesia ditambah bahasa Inggris yang dirasa penting, maka kemampuan untuk bertutur dalam bahasa daerah tidak diturunkan ke anak-anak orang tersebut.
Baca: Memahami Manusia
Keluarga saya sih contoh konkret.
Anak-anak dari om dan tante saya yang merantau ke kota (daerah Jabodetabek) hanya bisa mengerti kata-kata dalam bahasa Jawa, tetapi tidak bisa mengucapkan. Mereka mengerti, tapi untuk mentransfer 'pengertian' itu ke lisan mereka, mereka tidak bisa. Nggak punya bakat medok. Dan saya cukup yakin, satu generasi lagi bahasa Jawa di kehidupan mereka bakal tidak ada sisanya. Aduh, piye iki?
Saya sendiri? Karena orang tua saya menetap di Nganjuk raya jadi saya sangat menguasai bahasa Jawa. Meskipun nggak bisa krama super alus (bahasa Jawa dengan level kesopanan tertinggi).
Kalau dipikir-pikir sepertinya saya bisa berbahasa Indonesia karena televisi deh. Soalnya pas masih usia TK dan SD nggak di rumah, nggak di sekolah, nggak di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an), nggak di jalan, semuanya pakai bahasa Jawa. Satu-satunya media yang memakai bahasa Indonesia ya cuma kartun Doraemon, Spongebob, Dora, dan kawan-kawannya yang di-dubbing menggunakan bahasa Indonesia. Eh, buku sekolah juga deh. Eh, berita juga deh, tapi dulu saya benci nonton berita. Satu hal lagi yang penting, saya tidak pernah praktik berbahasa Indonesia. Jadilah saat lebaran, pas ngobrol bareng sepupu dari kota, saya kagok berbahasa Indonesia, hahaha. Vice versa nggak sih sama sepupu saya yang kagok berbahasa Jawa.
Memang, modal utama untuk tetap melestarikan penutur bahasa daerah adalah dengan MEMPRAKTIKANNYA. Bahkan saya yang bisa bahasa Jawa tingkat advanced super pro pun bisa keseleo lidah kalau udah lama nggak ngomong Jawa. Medoknya kurang jos. Hahaha.
Terus saya khawatir nanti menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang berhenti menyalurkan keahlian bertutur bahasa daerah. Melihat bidang yang saya tekuni sekarang tumbuh suburnya di kota-kota besar. Hm.
Semoga tidak.
Bahasa ibu anak saya harus bahasa Jawa ah titik.
- Dari Seorang Jawa yang Bangga sekaligus Khawatir