Recognizing the Real Enemy

Recognizing the Real Enemy
Model: Saya; Difotoin: Teman Saya;

Beberapa tahun yang lalu, saya selalu menganggap orang lain adalah musuh saya. Bukan musuh dalam konteks dia jahat ke saya, bukan. Tapi lebih ke arah saya menganggap orang lain sebagai rival. Dan saya memaksa diri saya harus 'lebih' dari orang tersebut. Lebih dalam hal nilai to be precise. Pokoknya saya harus menjadi yang 'sosok lebih baik' di mata khalayak umum.

Baca: Terjebak Dalam Model Minority Stereotype

Pemikiran tersebut sangat melekat di otak saya, sampai saya SMA kalau nggak salah. Lalu entah darimana saya tiba-tiba menerima sebuah konsep bahwa musuh terbesar kita sesungguhnya diri sendiri. Yah, waktu itu saya nggak terlalu percaya sih. Yang saya percayai adalah saya harus lebih baik dari orang lain. Katakanlah di sebuah pelajaran saya mendapat nilai ujian 50. Jika nilai 50 itu sudah merupakan nilai terbaik di seisi kelas, maka it would be totally okay for me. Justru kalau saya dapet nilai 99, tapi ada orang lain dapet nilai 100, saya bakalan ngerasa gondok.

Duh, alay banget gue.

Like really??? Kalau saya bisa bertatap muka dengan saya yang dulu sepertinya saya bakal memasang wajah terbengong-bengong.

Tapi, kata seseorang dalam bukunya, atau kata seseorang dalam ucapannya, lupa pokoknya yang mana, musuh diri kita adalah datang dari diri kita sendiri.

Bukan orang lain yang kita jadikan acuan perkembangan kita. Bukan orang lain yang menjadi parameter kesuksesan kita. Cerminan diri kita di masa lalu lah pelakunya.

Saya baru benar-benar merasakan hal ini ketika sudah beranjak kuliah.


Semangat saya untuk berusaha maksimal, belajar maksimal, produktif maksimal lebih sering dikalahkan oleh kemalasan saya, which is datang dari saya sendiri. Kalau mau menganggap orang lain rival sebenarnya bisa, banyak stok orang hebat di tempat saya. Tapi, lebih sering saya merasa "Ah, bodo amat," Saya jauh lebih sering menuruti keinginan saya daripada menuruti apa yang seharusnya saya turuti. Instead of being PRODUCTIVE, I just keep being PROCRASTINATIVE. Contoh simpel, ada tugas numpuk tapi saya memilih nonton YouTube berjam-jam. Hah. I'm so done with myself.

Diri saya benar-benar musuh.

Kadang merasa sedih juga saat saya yang saat ini tidak lebih baik dari cerminan saya hari kemarin. Nggak kadang deh, SELALU. Hiks.

Ah, kenapa ya fase kuliah ini seperti sebuah turning point? Seperti segalanya berubah. Apakah ini quarter life crisis?

Ribet ah, pusing.


Saya cuma mau mengingatkan, hati-hatilah dengan diri kalian. Hati-hati aja, jangan-jangan yang membuat hidup seakan-akan stuck in the moment diri kalian sendiri.

Siapin kaca dan mulai introspeksi diri.

Saya juga sih.