Hoaks atau berita bohong memang sudah jadi perkara banget di dunia ini. Ya gimana nggak jadi perkara coba, judul dan konten berita yang nyeleneh seringnya langsung dipercaya warganet tanpa klarifikasi lebih dulu. Minimal cari di Google kek, cari situs yang relevan.
Saya juga paling enek dengan broadcast tulisan panjang ala-ala Whatsapp. Saya udah nggak peduli lagi isinya hoaks atau bukan yang jelas nggak bakal saya baca. Hahaha. Reputasi tulisan panjang Whatsapp sudah hancur lah di mata saya.
Kenapa masih ada yang percaya hoaks?
Mengamati dari apa yang terjadi di keluarga saya, orang masih percaya hoaks karena tidak ada orang dekat yang merupakan pakar dari bidang yang dijadikan hoaks. Nggak perlu sampe pakar juga sih, paling nggak berkecimpung di bidang tersebut. Atau at least sedang menempuh pendidikan di bidang itu. Bingung? Gini contohnya.
Di keluarga saya tidak pernah ada hoaks maupun ujaran kebencian yang berbau-bau politik. Tapi kalau hoaks mengenai agama dan kesehatan, pasti masih di-share. Kenapa? Di keluarga saya banyak yang merupakan seorang pegawai negeri sipil. Ada yang di kantor daerah, ada yang pernah jadi kader parpol, dan ibu saya sendiri seorang guru. Tiap ada pemilu pasti pada sibuk. Ibu saya langganan jadi KPPS. Ayah dulu juga selalu pulang pagi pas masa-masa pemilu. Dinamika perpolitikan dan konspirasi-konspirasinya di lingkup kabupaten juga sangat hafal. Kalau tingkat provinsi dan nasional sih cukup tau lah levelnya. Jadi nggak ada tuh hoaks, meme, atau ujaran kebencian nggak jelas tentang politik dan pemerintahan yang di-share di lingkup keluarga. Tapi, karena jebolan pesantren cuma satu bahkan jebolan pendidikan kesehatan nggak ada sama sekali, hoaks mengenai dua bidang tersebut kadang masih ada. Bahkan pernah sampai dibuntuti perdebatan yang annoying banget menurut saya. Gimana nggak annoying? Cara membela pendapatnya dengan, 'kata ustad di TV', 'ada kok di Whatsapp' terus satu sama lain kayak saling menyalahkan gitu. Ya gimana ya.
Baca: Sepenggal Kisah Adipati Engeka
(Inget banget sih ini debatnya tentang penentuan lebaran, tentang keliatan nggaknya si Hilal alias bulan sabit alias penanda dalam perkalenderan hijriyah kalau sudah memasuki bulan baru)
Eh, ini bukannya tidak menghormati ustad di TV ya. Saya hanya merasa saya tidak mendapat kejelasan secara seutuhnya gitu.
Pun masalah kesehatan.
Sayangnya saya lupa ini contohnya apa. Hahaha.
Yang jelas di lingkar keluarga saya, tidak ada yang menjadi oase yang menyegarkan di tengah padang pasir ketidaktahuan tentang dunia agama dan kesehatan. Ya, tidak adanya PAKAR di dua bidang tersebut menjadikan hoaks masih ditebar-tebar. Atau berita yang provokatif. Aku tidak suka. :(
Baca: Provokatif Pada Tempatnya
Baca: Provokatif Pada Tempatnya
Tanggung Jawab Seorang Pakar
Jadi penjelasan di atas lah yang membuat saya berpikir inilah salah satu tanggung jawab seorang pakar. MENCERDASKAN. Terutama orang-orang terdekat. Menjadikan diri sebagai portal utama kabar kebenaran sesuai bidang masing-masing dan turut menyebarkannya. Ya tentunya cara menyebarkannya tidak dengan menulis broadcast ala-ala Whatsapp sih, beri sajalah penjelasan langsung dan link-link yang relevan. Dan untuk teman-temanku semua yang merupakan konsumer berita di dunia ini, coba berteman dengan berbagai macam orang. Baca tulisan-tulisan orang dengan berbagai background. Blogger-blogger yang saya follow lumayan beda-beda lho. Ada dosen, ada pekerja kantoran, ada yang sangat agamais, ada yang nyablak apa adanya, ada yang di tiap post tidak pernah lupa mencantumkan Assalamu'alaikum, ada yang post-nya sering memakai umpatan, macem-macem deh. Biar apa? Biar insight kita makin luas. Biar kalo ngeliat kabar aneh-aneh mikirnya nggak sempit, mikirnya bisa seluas Samudera Pasifik sana.
Saya sangat bersyukur teman-teman saya berkuliah di jurusan beda-beda. Jadi sekali saya ada keraguan di bidang tertentu bisa langsung klarifikasi ke mereka. Meskipun mereka tidak tau jawabannya, tapi setidaknya mereka bisa menjembatani saya menuju jawaban yang diharapkan.
Intinya saya cuma mau bilang kalau ada berita meragukan, provokatif, aneh-aneh, nyeleneh, sudahlah-cari-saja-pakarnya-dan-tanya.
Karena malu bertanya, kesasar jadinya.